Senin, 19 Desember 2016

TASAWUF DALAM PERKEMBANGAN MODERN



BAB I
PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang
Gagasan pokok dalam judul ini adalah perumusan tasawuf bagi masyarakat modern. Cakupan konsep konfigurasi spiritual islam berbeda dengan konfigurasi iman karena lingkup yang kedua lebih luas dan sejalan dengan konsep tasawuf modern.
Kualifikasi dalam konsep modern itu justru memiliki konotasi yang jauh lebih penting karena mengisyaratkan adanya perbedaan dengan tasawuf pada masa-masa sebelumnya. Ciri pembeda utama adalah waktu waktu yang menunjuk konteks social keagamaan masing-masing. Sebagai suatu setting social, perbedaan konteks ini menimbulkan konskuensi perbedaan susunan masyarakat dan struktur keberagamaan warga dan akhirnya keberbedaan problem social yang memerlukan pola pemecahannya masing-masing. Akan tetapi unsure essensial yang tidak mungkin dikesampingkan adalah bingkai keberagamaan yang harus tetap berada dalam ruang lingkup al-qur’an dan as-sunnah.
Meskipun visi religious dalam melihat manusia modern lebih menekankan pada essensi perilaku dalam hubungannya dengan alam, manusia, dan Tuhan. Nama sosok manusia modern dapat diamati dalam dunia literature lainnya. Bagi kemanusaiaan manusia, hiruk-pikuk dunia modern ini akan mengakibatkan masalah-masalah kemanusaiaan seperti keterasigan tidak hanya dari lingkungan, alam, tetapi juga dari kemanusaiaan itu sendiri. Manusia modern ternyata memerlukan sentuhan lain yang mampu memenusaiakan dirinya sendiri.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana perkembangan tasawuf di era modern ?
2.      Apa fungsi tasawuf di era modern terhadap kehidupan sekarang ini ?
1.3  Tujuan
1.      Untuk mengetahui perkembangan tasawuf di era modern.
2.      Untuk mengetahui fungsi tasawuf di era modern terhadap kehidupan sekarang ini.


BAB II
PEMBAHASAN


1.1  Perkembangan Tasawuf di Era Modern
Kaum sufi yang merupakan kaum elit dan kaum terdepan. Merupakan roda penggerak utama islam pada masanya. Sepanjang abad ke-18, ke-19 dan awal abad ke-20, gerakan-gerakan sufi besar di afrika dan asia sering dihubungkan islam dengan gerakan-gerakan umumnya. Kaum sufi adalah kaum elit masyarakatnya memimpin gerakan pembaharuan, atau perlawanan terhadap penindasan atau colonial.
Di Nigeria Utara, seorang Tarekat Qadiriyah, memimpin jihad melawan para penguasa Hebe yang telah gagal memerintah menurut syari’at Islam, yang telah mengadakan pembebanan pajak yag dibuat-buat, korupsi umum, penindasan, dari menjatuhkan moralitas Islam pada tinkat rakyat maupun Istana.
Demikianlah kaum sufi beraksi dibanyak Negara dimasa penjajahan, menentang usaha kolonial untuk menjungkirkan pemerintahan Islam, dan berusaha menghidupkan kembali serta mempertahankan Islam yang asli. Mereka sering membentuk atau berada pada kelompok-kelompok social yang kuat, dan mempunyai banyak pengikut di banyak bagian dunia. Kepentingan serta pengaruh agama dan kaum sufi menjadi nomor dua, karena erosi yang cepat dalam nilai-nilai dan gaya hidup masa lalu dan tradisional, dan menjadi bertambah sulit dan berbahaya untuk mengikuti ajaran Islam asli secara utuh di negeri-negeri Muslim.
Kelompok-kelompok gerakan zaman baru ini yang mengikuti sejumlah gagasan yang diambil dari tasawuf sedang terpecah-pecah karena jalan hidup mereka tidak selaras dengan garis umum Islam asli, dan boleh Karena itu mereka tidak mendapat perlindungan lahiriyah yang diperlukan untuk melindungi dan menjamin keselamatan gerakan batinnya. Maka selama beberapa akhir abad ini, kita bahwa kebanyakan gerakan sufi di Barat telah menguat karena berpegang amal-amal lahiriyah Islam, atau melemah karena tidak berlaku demikian.



Perkembangan tasawuf di era modern juga dapat dilihat dari beberapa tinjauan seperti :

A.    Realitas Kausalitas
Dunia terus menerus bergantung pada Tuhan yang tidak berdiri di luar alam ciptaan-Nya,
melainkan dalam segala sesuatu yang ada hadir karena daya pemeliharaan-Nya, sehingga Tuhan
dan materi abadi bersama, hanya saja Tuhan bersifat tidak berubah, sedangkan materi dapat
berubah. Oleh sebab itu menurut Ibnu ‘Arabi, bahwa sesungguhnya hanya ada satu zat yang mewujud dalam dirinya sendiri. Tiada yang benar-benar ada kecuali Tuhan.
Abul Hasan Asy’ari berpendapat bahwa eksistensi Tuhan adalah diri (‘ain) dari sebuah kesatuan dan bukan sebagai tambahan dari luar dan eksistensi dari makhluq adalah diri dari esensi itu sendiri.
Menyaksikan pengejawantahan Tuhan dan keindahan sempurna-Nya dilakukan dalam kondisi spritual ma’rifat yakni pengetahuan bahwa apapun yang terbayang dalam hati, Tuhan adalah kebalikannya dan sifat dari orang yang mengenal Allah SWT melalui Nama-Nama serta Sifat-Sifat-Nya dan berlaku tulus kepada Allah SWT dengan muamalatnya kemudian menyucikan dirinya dari sifat-sifat yang rendah dan cacat, kemudian menikmati keindahan dekat dengan-Nya, yang mengukuhkan ketulusannya dalam semua keadaannya.
            Tuhan bagaimanapun juga eksis (ada),dan jika kita menempatkan eksistensi kita dekat pada eksistensi-Nya, kita akan melihat bahwa kita sepenuhnya berasal dari-Nya. Dengan demikian kita tidak memiliki eksistensi, kita hanya menerima pancaran eksistensi-Nya.

B.     Tinjauan Mengenai Ruang Dan Waktu
            Masa kini merupakan batas antara masa lalu dengan masa mendatang dan ini disebut barzakh. Barzakh masa kini adalah wahdah.Waktu adalah seluruh rangkaian saat yang telah berlalu, sekarang, maupun yang akan datang. Kenyataan ilmiah menunjukkan bahwa setiap sistem gerak mempunyai perhitungan waktu yang berbeda dengan sistem gerak yang lain .
Waktu merupakan ungkapan tentang kedekatan satu peristiwa dengan peristiwa lain atau merupakan hubungan antara dua peristiwa.


            Esensi waktu (al-waqt) menurut penelaah ahli hakikat adalah suatu peristiwa yang terbayangkan, yang hasilnya dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi. Syekh Abu Ali ad-Daqqaq , “Waktu adalah sesuatu yang anda berada di dalamya. Kalau anda di dunia, maka waktu anda adalah dunia. Bila di akherat, maka waktu anda adalah akherat. Ketika anda senang, maka senang itulah waktu anda. Kalau anda susah, susah itulah waktu andaSebagaimana firman Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dalam surat Thaha ayat 40, yaitu :
ثُمَّ جِئْتَ عَلَىَ قَدَرِيَّمُوْسَى
Kemudian kamu datang menurut waktu yang ditetapkan hai Musa……
           
            Waktu yang sebenarnya menurut para sufi adalah tenggelamnya rupa waktu dalam wujud Allah, jika orang berjalan dengan membawa makna ini, maka dia tenggelam dalam waktunya, maka semua waktunya tidak akan terasa. Sufi menyebut dirinya sendiri sebagai “putra waktu” (ibnu al waqt) yaitu ia ditempatkan dalam kehadiran Tuhan tanpa ada kemarin dan hari esok, dan kehadiran ini tidak lain adalah refleksi dari kesatuan; yang satu memproyeksikan diri ke dalam waktu “sekarang” nya Tuhan, yang berbarengan dengan keabadian. Kekinian (sekarang)nya Ilahi (Tuhan) adalah titik diam yang dalam dirinya sendiri memuat seluruh gerakan keabadian tanpa awal, azal, menuju keabadian tanpa akhir, abad, sebagai yang terbatas; sebab bahkan waktupun akan berakhir, karena segala sesuatu akan musnah dan hanya kekinian Ilahi yang tetap tinggal.
Waktu yang dikaitkan dengan cakrawala dunia ciptaan kita adalah tahapan yang kita alami dalam kehidupan sehari-hari dan dimana kita bertindak, tetapi begitu waktu membawa sang pencari keluar dari dirinya sendiri dia mengalami waktu antusi, waktu ruhaniah, saat ketika pengertian normal tidak mempunyai arti lagi. Orang sufi membagi waktu menjadi empat golongan, yaitu :
1)      Orang-orang yang bersama waktu lampau. Hati mereka senantiasa ada dalam ketetapan Allah, karena mereka menyadari bahwa hukun azaly tidak bisa dirubah oleh usaha hamba.
2)      Orang-orang yang bersama waktu mendatang. Pikiran mereka hanya tertuju kepada kesudahan urusan mereka, karena segala urusan dan amal diukur dari kesudahannya.


3)      Orang-orang yang bersama waktu yang ada. Perhatian mereka hanya tertuju pada waktu yang ada dan hukum-hukumnya, sebagaimana yang mereka katakana, “Orang yang arif ialah yang menjadi anak waktunya, tidak ada waktu lampau dan tidak ada waktu mendatang”.
4)      Orang-orang yang bersama pemilik waktu, penguasa dan yang menanganinya, yaitu Allah, dan mereka tidak peduli terhadap waktu itu sendiri.

            Orang cerdas adalah orang yang berada dalam hukum waktunya. Apabila waktunya adalah sadar dalam Ilahi ( ash-shahw ) maka ia tegak mandiri dengan syariat. Apabila waktunya adalah sirna dalam Ilahi, yang kompeten adalah hukum-hukum hakikat.

C.     Tinjauan Mengenai Alam Semesta
            Dunia diciptakan dengan membungkus gagasan-gagasan Ilahi dengan sosok materi.
Alam sebagai keseluruhan, maupun bagian-bagiannya tersusun. Bentuk adalah penampakan luar, makna adalah hakekat yang tidak terlihat, realitas yang tersembunyi. Makna, hakekatnya hanya Tuhan yang mengetahui. Masing-masing bentuk memiliki maknanya sendiri-sendiri di dalam Tuhan. Unsur-unsur yang sering menunjuk pada pilar-pilar dunia materi merupakan tujuan-tujuan dasar ontologis yang diberikan pada dunia oleh sifat-sifat ketuhanan dan menggambarkan pengejawantahan dari nama-nama-Nya.
            Ibnu Al-‘Arabi memetakan dunia ruhaniah dan menggambarkan strata perwujudan Ilahi melalui mana esensi Ilahi yang tidak tertembus mengungkapkan diri-Nya sendiri untuk mengungkapkan konsep ruang waktu yang suci. Wilayah imajinasi (mundus imajinalis) ditempatkan diantara dunia kerajaan langit dan kerajaan manusia dimana ia merupakan suatu gudang kemungkinan yang menunggu realisasi dan dapat dicela oleh ambisi ruhaniah si orang suci.
Tatanan Ilahiah sama seperti batas-batas ruang waktu yang tak dapat kita bayangkan mewajibkan kita untuk menerima Yang Tak Terhingga, dan juga fakta bahwa eksistensi terkecil adalah absolut dalam hubungannya dengan ketiadaan, atau fakta bahwa hukum-hukum fisika, matematika, dan logika selalu tetap, pada analisis terakhirnya memberikan kesaksian tentang Tuhan yang absolut dan membuat kita tidak ada pilihan lain kecuali menerimanya.

D.    Hubungan Antara Subjek Dan Objek Dalam Alam Semesta
            Kaum sufi menyatakan bahwa nafs adalah keinginan, qalbu dengan mengetahui, jiwa dengan pandangan, pandangan dengan perenungan, dan zat dengan muncul. Zat muncul, maka kita juga muncul dan semua citra berasal dari kemunculan ini. Karena zat merenung maka kita juga merenung (zikir). Zat melihat, maka kita juga melihat (sinar adalah tahap jiwa). Zat mengetahui, maka kita juga mengetahui (tahap qalbu). Zat berkeinginan, maka kita juga berkeinginan (tahap nafs). Pandangan dan pengetahuan bukan merupakan bagian-bagian dari jiwa.
            Zat memandang diri-Nya di dalam sifat dan ini adalah iluminasi (tajalli). Sifat bagaikan raksa dalam cermin, kemudian mewujud melalui iluminasi, sehingga menimbulkan kegandaan (dualitas) yang mewujudkan dirinya sebagai jiwa. Apabila jiwa melihat dirinya sendiri maka hal tersebut hanyalah mitsal, dan lapisan pada cermin adalah jasad.
            Setiap kali Tuhan menciptakan sesuatu yang bersifat sementara, Dia menciptakan secara berpasangan sebagai dua benda yang dikaitkan satu sama lain atau berlawanan satu sama lain. Tuhan yang maha Esa dalam esensi dan sifat-sifat. Dia tidak dapat diperbandingkan dengan setiap orang dan terpisah dari segala benda,  sebagaimana firman Allah Subhaanahu Wa Ta'ala dalam surat Asy-Syuura ayat 11 :
”(Dia) menciptakan langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat »
            Cara langit dan bumi saling berhubungan menggambarkan hukum-hukum yang mengatur hubungan-hubungan dalam segala hal. Ciri yang paling menonjol dari langit dan bumi adalah kenyataan bahwa mereka dan segala sesuatu yang ada diantara mereka merupakan perangkat dan kerajaan Tuhan, yang melakukan kontrol mutlak atas mereka.
            Langit dan bumi sebagai perwujudan sifat-sifat Ilahi yang saling melengkapi yang tercakup dalam istilah keagungan dan keindahan. Firman Allah dalam surat An-Nuur ayat 35 :
"Allah (Pemberi) cahaya (kepada)langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara”
            Keyakinan dan ketenangan adalah tujuan fundamental Islam, karena segala sesuatu dimulai dengan keyakinan, iman kepada Yang Absolut, wujud mutlak, yang memproyeksikan dan menentukan eksistensi yang “mungkin”. Manusia diciptakan untuk meyakini Yang Absolut dan ia menjadi manusia melalui keyakinannya itu.

2.1  Fungsi Tasawuf Di Era Modern Terhadap Kehidupan Sekarang
Omar Alishah dalam bukunya “Tasawuf Sebagai Terapi” menawarkan cara Islami dalam
pengobatan gangguan kejiwaan yang dialami manusia, yaitu dengan cara melalui terapi sufi. Terapi tasawuf bukanlah bermaksud mengubah posisi maupun menggantikan tempat yang selama ini di dominasi oleh medis, justru cara terapi sufi ini memiliki karakter dan fungsi melengkapi. Karena terapi tasawuf merupakan terapi pengobatan yang bersifat alternatif. Tradisi terapi di dunia sufi sangatlah khas dan unik. Ia telah dipraktekkan selama berabad-abad lamanya, namun anehnya baru di zaman-zaman sekarang ini menarik perhatian luas baik di kalangan medis pada umumnya, maupun kalangan terapis umum pada khususnya. Karena menurut Omar Alisyah, terapi sufi adalah cara yang tidak bisa diremehkan begitu saja dalam dunia terapi dan penanganan penyakit (gangguan jiwa), ia adalah sebuah alternatif yang sangat penting.
Tradisi sufi (tasawuf) sama sekali tidak bertujuan mengubah pola-pola terapi psikomodern dan terapi medis dengan terapi sufis yang penuh dengan spiritual, sebaliknya apa yang dilakukan Omar justru melengkapi dan membatu konsep-konsep terapi yang telah ada dengan cara mengoptimalkan peluang kekuatan individu seseorang untuk menyembuhkan dirinya, beberapa tehnik yang digunakan Omar Alishah dalam upaya terapeutik yang berasal dari tradisi-tradisi tasawuf antara lain yaitu tehnik “transmisi energi dan tehnik metafor” (Alishah, 2002:151).
Dengan demikian, terapi tasawuf atau sering juga disebut dengan penyembuhan sufis adalah penyembuhan cara islami yang dipraktekkan oleh para sufi ratusan tahun lalu. Prinsip dasar penyembuhan ini adalah bahwa kesembuhan hanya datang dari Allah Yang Maha penyembuh, sedangkan para sufi sebagai terapis hanya bertindak sebagai perantara.



BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Tasawuf dimasa modern merupakan sebuah gerakan yang utama Islam pada masanya dan dipandang elit masyarakatnya. Kepentingan serta pengaruh agama dalam nilai-nilai dan gaya hidup masa lalu menjadi bertambah sulit dan berbahaya untuk mengikuti ajaran Islam yang asli di Negeri Muslim. Dan perkembangan tasawwuf di era modern dapat dilihat dari :
1.      Realitas kausalitas
2.      Tinjauan mengenai ruang dan waktu
3.      Tinjauan mengenai alam semesta
4.      Hubungan antara subjek dan objek dalam alam semesta
Omar Alishah dalam bukunya “Tasawuf Sebagai Terapi” menawarkan cara Islami dalam pengobatan gangguan kejiwaan yang dialami manusia, yaitu dengan cara melalui terapi sufi.
Dengan demikian, terapi tasawuf atau sering juga disebut dengan penyembuhan sufis adalah penyembuhan cara islami yang dipraktekkan oleh para sufi ratusan tahun lalu. Prinsip dasar penyembuhan ini adalah bahwa kesembuhan hanya datang dari Allah Yang Maha penyembuh, sedangkan para sufi sebagai terapis hanya bertindak sebagai perantara.


B.     Saran
Makalah ini masih memiliki banyak  kekurangan oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan untuk memperbaiki makalah kami agar lebih baik lagi.






DAFTAR PUSTAKA


Amin Syukur, Tasawuf dan Krisis, Pelajar Celeban Timur, Yogyakarta 55167
Amin Syukur, Menggugat Tsawuf, Pustaka Pelajar Glagah, Yogyakarta, Februari 1999.
Ali Maksum, Tasawuf Sebagai Pembebasan manusaia Modern, Pusat Studi Agama, Politik dan Masyarakat(PSPAM), Januari, 2003.hlm.122-126.
Http://Imam Sutrisno. Tasawuf Pada Masa Modern. Blogspot

Tidak ada komentar:

Posting Komentar