BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gagasan
pokok dalam judul ini adalah perumusan tasawuf bagi masyarakat modern. Cakupan
konsep konfigurasi spiritual islam berbeda dengan konfigurasi iman karena
lingkup yang kedua lebih luas dan sejalan dengan konsep tasawuf modern.
Kualifikasi
dalam konsep modern itu justru memiliki konotasi yang jauh lebih penting karena
mengisyaratkan adanya perbedaan dengan tasawuf pada masa-masa sebelumnya. Ciri
pembeda utama adalah waktu waktu yang menunjuk konteks social keagamaan
masing-masing. Sebagai suatu setting social, perbedaan konteks ini menimbulkan
konskuensi perbedaan susunan masyarakat dan struktur keberagamaan warga dan
akhirnya keberbedaan problem social yang memerlukan pola pemecahannya
masing-masing. Akan tetapi unsure essensial yang tidak mungkin dikesampingkan
adalah bingkai keberagamaan yang harus tetap berada dalam ruang lingkup
al-qur’an dan as-sunnah.
Meskipun
visi religious dalam melihat manusia modern lebih menekankan pada essensi
perilaku dalam hubungannya dengan alam, manusia, dan Tuhan. Nama sosok manusia
modern dapat diamati dalam dunia literature lainnya. Bagi kemanusaiaan manusia,
hiruk-pikuk dunia modern ini akan mengakibatkan masalah-masalah kemanusaiaan
seperti keterasigan tidak hanya dari lingkungan, alam, tetapi juga dari
kemanusaiaan itu sendiri. Manusia modern ternyata memerlukan sentuhan lain yang
mampu memenusaiakan dirinya sendiri.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana
perkembangan tasawuf di era modern ?
2. Apa
fungsi tasawuf di era modern terhadap kehidupan sekarang ini ?
1.3 Tujuan
1. Untuk
mengetahui perkembangan tasawuf di era modern.
2. Untuk
mengetahui fungsi tasawuf di era modern terhadap kehidupan sekarang ini.
BAB II
PEMBAHASAN
1.1 Perkembangan
Tasawuf di Era Modern
Kaum sufi yang merupakan kaum elit
dan kaum terdepan. Merupakan roda penggerak utama islam pada masanya. Sepanjang
abad ke-18, ke-19 dan awal abad ke-20, gerakan-gerakan sufi besar di afrika dan
asia sering dihubungkan islam dengan gerakan-gerakan umumnya. Kaum sufi adalah
kaum elit masyarakatnya memimpin gerakan pembaharuan, atau perlawanan terhadap
penindasan atau colonial.
Di Nigeria Utara, seorang Tarekat
Qadiriyah, memimpin jihad melawan para penguasa Hebe yang telah gagal
memerintah menurut syari’at Islam, yang telah mengadakan pembebanan pajak yag
dibuat-buat, korupsi umum, penindasan, dari menjatuhkan moralitas Islam pada
tinkat rakyat maupun Istana.
Demikianlah kaum sufi beraksi
dibanyak Negara dimasa penjajahan, menentang usaha kolonial untuk menjungkirkan
pemerintahan Islam, dan berusaha menghidupkan kembali serta mempertahankan
Islam yang asli. Mereka sering membentuk atau berada pada kelompok-kelompok
social yang kuat, dan mempunyai banyak pengikut di banyak bagian dunia.
Kepentingan serta pengaruh agama dan kaum sufi menjadi nomor dua, karena erosi
yang cepat dalam nilai-nilai dan gaya hidup masa lalu dan tradisional, dan
menjadi bertambah sulit dan berbahaya untuk mengikuti ajaran Islam asli secara
utuh di negeri-negeri Muslim.
Kelompok-kelompok gerakan zaman
baru ini yang mengikuti sejumlah gagasan yang diambil dari tasawuf sedang
terpecah-pecah karena jalan hidup mereka tidak selaras dengan garis umum Islam
asli, dan boleh Karena itu mereka tidak mendapat perlindungan lahiriyah yang
diperlukan untuk melindungi dan menjamin keselamatan gerakan batinnya. Maka
selama beberapa akhir abad ini, kita bahwa kebanyakan gerakan sufi di Barat
telah menguat karena berpegang amal-amal lahiriyah Islam, atau melemah karena
tidak berlaku demikian.
Perkembangan tasawuf di era modern
juga dapat dilihat dari beberapa tinjauan seperti :
A. Realitas Kausalitas
Dunia terus menerus bergantung pada
Tuhan yang tidak berdiri di luar alam ciptaan-Nya,
melainkan dalam segala sesuatu yang ada hadir karena daya
pemeliharaan-Nya, sehingga Tuhan
dan materi abadi bersama, hanya saja Tuhan bersifat tidak
berubah, sedangkan materi dapat
berubah. Oleh sebab itu menurut Ibnu
‘Arabi, bahwa sesungguhnya hanya ada satu zat yang mewujud dalam dirinya
sendiri. Tiada yang benar-benar ada kecuali Tuhan.
Abul
Hasan Asy’ari berpendapat bahwa eksistensi Tuhan adalah diri (‘ain) dari
sebuah kesatuan dan bukan sebagai tambahan dari luar dan eksistensi dari
makhluq adalah diri dari esensi itu sendiri.
Menyaksikan pengejawantahan Tuhan dan
keindahan sempurna-Nya dilakukan dalam kondisi spritual ma’rifat yakni
pengetahuan bahwa apapun yang terbayang dalam hati, Tuhan adalah kebalikannya
dan sifat dari orang yang mengenal Allah SWT melalui Nama-Nama serta
Sifat-Sifat-Nya dan berlaku tulus kepada Allah SWT dengan muamalatnya kemudian
menyucikan dirinya dari sifat-sifat yang rendah dan cacat, kemudian menikmati
keindahan dekat dengan-Nya, yang mengukuhkan ketulusannya dalam semua
keadaannya.
Tuhan
bagaimanapun juga eksis (ada),dan jika kita menempatkan eksistensi kita dekat
pada eksistensi-Nya, kita akan melihat bahwa kita sepenuhnya berasal dari-Nya.
Dengan demikian kita tidak memiliki eksistensi, kita hanya menerima pancaran
eksistensi-Nya.
B. Tinjauan
Mengenai Ruang Dan Waktu
Masa
kini merupakan batas antara masa lalu dengan masa mendatang dan ini disebut barzakh.
Barzakh masa kini adalah wahdah.Waktu adalah seluruh rangkaian saat yang telah
berlalu, sekarang, maupun yang akan datang. Kenyataan ilmiah menunjukkan bahwa
setiap sistem gerak mempunyai perhitungan waktu yang berbeda dengan sistem
gerak yang lain .
Waktu merupakan ungkapan tentang kedekatan satu peristiwa
dengan peristiwa lain atau merupakan hubungan antara dua peristiwa.
Esensi
waktu (al-waqt) menurut penelaah ahli hakikat adalah suatu peristiwa
yang terbayangkan, yang hasilnya dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi. Syekh
Abu Ali ad-Daqqaq , “Waktu adalah sesuatu yang anda berada di dalamya. Kalau
anda di dunia, maka waktu anda adalah dunia. Bila di akherat, maka waktu anda
adalah akherat. Ketika anda senang, maka senang itulah waktu anda. Kalau anda
susah, susah itulah waktu andaSebagaimana
firman Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dalam surat Thaha ayat 40, yaitu :
ثُمَّ جِئْتَ عَلَىَ قَدَرِيَّمُوْسَى
Kemudian kamu datang menurut waktu yang ditetapkan hai Musa……
Waktu yang
sebenarnya menurut para sufi adalah tenggelamnya rupa waktu dalam wujud Allah,
jika orang berjalan dengan membawa makna ini, maka dia tenggelam dalam
waktunya, maka semua waktunya tidak akan terasa. Sufi menyebut dirinya sendiri
sebagai “putra waktu” (ibnu al waqt) yaitu ia ditempatkan dalam
kehadiran Tuhan tanpa ada kemarin dan hari esok, dan kehadiran ini tidak lain
adalah refleksi dari kesatuan; yang satu memproyeksikan diri ke dalam waktu
“sekarang” nya Tuhan, yang berbarengan dengan keabadian. Kekinian (sekarang)nya
Ilahi (Tuhan) adalah titik diam yang dalam dirinya sendiri memuat seluruh
gerakan keabadian tanpa awal, azal, menuju keabadian tanpa akhir, abad,
sebagai yang terbatas; sebab bahkan waktupun akan berakhir, karena segala
sesuatu akan musnah dan hanya kekinian Ilahi yang tetap tinggal.
Waktu yang
dikaitkan dengan cakrawala dunia ciptaan kita adalah tahapan yang kita alami
dalam kehidupan sehari-hari dan dimana kita bertindak, tetapi begitu waktu
membawa sang pencari keluar dari dirinya sendiri dia mengalami waktu antusi,
waktu ruhaniah, saat ketika pengertian normal tidak mempunyai arti lagi. Orang sufi
membagi waktu menjadi empat golongan, yaitu :
1)
Orang-orang
yang bersama waktu lampau. Hati mereka senantiasa ada dalam ketetapan Allah,
karena mereka menyadari bahwa hukun azaly tidak bisa dirubah oleh usaha hamba.
2)
Orang-orang
yang bersama waktu mendatang. Pikiran mereka hanya tertuju kepada kesudahan
urusan mereka, karena segala urusan dan amal diukur dari kesudahannya.
3)
Orang-orang yang bersama waktu yang ada. Perhatian mereka
hanya tertuju pada waktu yang ada dan hukum-hukumnya, sebagaimana yang mereka
katakana, “Orang yang arif ialah yang menjadi anak waktunya, tidak ada waktu
lampau dan tidak ada waktu mendatang”.
4)
Orang-orang yang bersama pemilik waktu, penguasa dan yang
menanganinya, yaitu Allah, dan mereka tidak peduli terhadap waktu itu sendiri.
Orang
cerdas adalah orang yang berada dalam hukum waktunya. Apabila waktunya adalah
sadar dalam Ilahi ( ash-shahw ) maka ia tegak mandiri dengan syariat.
Apabila waktunya adalah sirna dalam Ilahi, yang kompeten adalah hukum-hukum
hakikat.
C. Tinjauan Mengenai Alam Semesta
Dunia diciptakan dengan membungkus
gagasan-gagasan Ilahi dengan sosok materi.
Alam sebagai keseluruhan, maupun bagian-bagiannya tersusun.
Bentuk adalah penampakan luar, makna adalah hakekat yang tidak terlihat,
realitas yang tersembunyi. Makna, hakekatnya hanya Tuhan yang mengetahui.
Masing-masing bentuk memiliki maknanya sendiri-sendiri di dalam Tuhan.
Unsur-unsur yang sering menunjuk pada pilar-pilar dunia materi merupakan
tujuan-tujuan dasar ontologis yang diberikan pada dunia oleh sifat-sifat
ketuhanan dan menggambarkan pengejawantahan dari nama-nama-Nya.
Ibnu
Al-‘Arabi memetakan dunia ruhaniah dan menggambarkan strata perwujudan Ilahi
melalui mana esensi Ilahi yang tidak tertembus mengungkapkan diri-Nya sendiri
untuk mengungkapkan konsep ruang waktu yang suci. Wilayah imajinasi (mundus
imajinalis) ditempatkan diantara dunia kerajaan langit dan kerajaan manusia
dimana ia merupakan suatu gudang kemungkinan yang menunggu realisasi dan dapat
dicela oleh ambisi ruhaniah si orang suci.
Tatanan
Ilahiah sama seperti batas-batas ruang waktu yang tak dapat kita bayangkan
mewajibkan kita untuk menerima Yang Tak Terhingga, dan juga fakta bahwa
eksistensi terkecil adalah absolut dalam hubungannya dengan ketiadaan, atau
fakta bahwa hukum-hukum fisika, matematika, dan logika selalu tetap, pada
analisis terakhirnya memberikan kesaksian tentang Tuhan yang absolut dan
membuat kita tidak ada pilihan lain kecuali menerimanya.
D. Hubungan
Antara Subjek Dan Objek Dalam Alam Semesta
Kaum sufi
menyatakan bahwa nafs adalah keinginan, qalbu dengan mengetahui, jiwa dengan
pandangan, pandangan dengan perenungan, dan zat dengan muncul. Zat muncul, maka
kita juga muncul dan semua citra berasal dari kemunculan ini. Karena zat
merenung maka kita juga merenung (zikir). Zat melihat, maka kita juga melihat
(sinar adalah tahap jiwa). Zat mengetahui, maka kita juga
mengetahui (tahap qalbu). Zat
berkeinginan, maka kita juga berkeinginan (tahap nafs). Pandangan dan
pengetahuan bukan merupakan bagian-bagian dari jiwa.
Zat memandang diri-Nya di dalam
sifat dan ini adalah iluminasi (tajalli). Sifat bagaikan raksa
dalam cermin, kemudian mewujud melalui iluminasi, sehingga menimbulkan
kegandaan (dualitas) yang mewujudkan dirinya sebagai jiwa. Apabila jiwa melihat dirinya sendiri
maka hal tersebut hanyalah mitsal, dan lapisan pada cermin adalah jasad.
Setiap kali
Tuhan menciptakan sesuatu yang bersifat sementara, Dia menciptakan secara
berpasangan sebagai dua benda yang dikaitkan satu sama lain atau berlawanan
satu sama lain. Tuhan yang maha Esa dalam esensi dan sifat-sifat. Dia tidak
dapat diperbandingkan dengan setiap orang dan terpisah dari segala benda,
sebagaimana firman Allah Subhaanahu Wa Ta'ala dalam surat Asy-Syuura ayat 11 :
”(Dia)
menciptakan langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri
pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula),
dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang
serupa dengan Dia, dan Dia lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat »
Cara langit
dan bumi saling berhubungan menggambarkan hukum-hukum yang mengatur
hubungan-hubungan dalam segala hal. Ciri yang paling menonjol dari langit dan
bumi adalah kenyataan bahwa mereka dan segala sesuatu yang ada diantara mereka
merupakan perangkat dan kerajaan Tuhan, yang melakukan kontrol mutlak atas
mereka.
Langit dan
bumi sebagai perwujudan sifat-sifat Ilahi yang saling melengkapi yang tercakup
dalam istilah keagungan dan keindahan. Firman Allah dalam surat An-Nuur ayat 35
:
"Allah (Pemberi) cahaya
(kepada)langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang
yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca
(dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara”
Keyakinan
dan ketenangan adalah tujuan fundamental Islam, karena segala sesuatu dimulai
dengan keyakinan, iman kepada Yang Absolut, wujud mutlak, yang memproyeksikan
dan menentukan eksistensi yang “mungkin”. Manusia diciptakan untuk meyakini
Yang Absolut dan ia menjadi manusia melalui keyakinannya itu.
2.1 Fungsi Tasawuf
Di Era Modern Terhadap Kehidupan Sekarang
Omar Alishah dalam bukunya “Tasawuf Sebagai Terapi”
menawarkan cara Islami dalam
pengobatan gangguan kejiwaan yang dialami manusia, yaitu
dengan cara melalui terapi sufi. Terapi tasawuf bukanlah bermaksud mengubah
posisi maupun menggantikan tempat yang selama ini di dominasi oleh medis,
justru cara terapi sufi ini memiliki karakter dan fungsi melengkapi. Karena
terapi tasawuf merupakan terapi pengobatan yang bersifat alternatif. Tradisi
terapi di dunia sufi sangatlah khas dan unik. Ia telah dipraktekkan selama
berabad-abad lamanya, namun anehnya baru di zaman-zaman sekarang ini menarik
perhatian luas baik di kalangan medis pada umumnya, maupun kalangan terapis
umum pada khususnya. Karena menurut Omar Alisyah, terapi sufi adalah cara yang
tidak bisa diremehkan begitu saja dalam dunia terapi dan penanganan penyakit
(gangguan jiwa), ia adalah sebuah alternatif yang sangat penting.
Tradisi sufi (tasawuf) sama sekali tidak bertujuan mengubah
pola-pola terapi psikomodern dan terapi medis dengan terapi sufis yang penuh
dengan spiritual, sebaliknya apa yang dilakukan Omar justru melengkapi dan
membatu konsep-konsep terapi yang telah ada dengan cara mengoptimalkan peluang
kekuatan individu seseorang untuk menyembuhkan dirinya, beberapa tehnik yang
digunakan Omar Alishah dalam upaya terapeutik yang berasal dari tradisi-tradisi
tasawuf antara lain yaitu tehnik “transmisi energi dan tehnik metafor”
(Alishah, 2002:151).
Dengan demikian, terapi tasawuf atau sering juga disebut
dengan penyembuhan sufis adalah penyembuhan cara islami yang dipraktekkan oleh
para sufi ratusan tahun lalu. Prinsip dasar penyembuhan ini adalah bahwa
kesembuhan hanya datang dari Allah Yang Maha penyembuh, sedangkan para sufi
sebagai terapis hanya bertindak sebagai perantara.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tasawuf dimasa modern merupakan
sebuah gerakan yang utama Islam pada masanya dan dipandang elit masyarakatnya.
Kepentingan serta pengaruh agama dalam nilai-nilai dan gaya hidup masa lalu menjadi
bertambah sulit dan berbahaya untuk mengikuti ajaran Islam yang asli di Negeri
Muslim. Dan perkembangan tasawwuf di era modern dapat dilihat dari :
1. Realitas kausalitas
2. Tinjauan
mengenai ruang dan waktu
3. Tinjauan mengenai alam semesta
4. Hubungan
antara subjek dan objek dalam alam semesta
Omar Alishah dalam bukunya “Tasawuf Sebagai Terapi”
menawarkan cara Islami dalam pengobatan gangguan kejiwaan yang dialami manusia,
yaitu dengan cara melalui terapi sufi.
Dengan demikian, terapi tasawuf atau sering juga disebut
dengan penyembuhan sufis adalah penyembuhan cara islami yang dipraktekkan oleh
para sufi ratusan tahun lalu. Prinsip dasar penyembuhan ini adalah bahwa
kesembuhan hanya datang dari Allah Yang Maha penyembuh, sedangkan para sufi
sebagai terapis hanya bertindak sebagai perantara.
B.
Saran
Makalah ini masih memiliki banyak kekurangan oleh karena itu kritik dan saran
yang sifatnya membangun sangat kami harapkan untuk memperbaiki makalah kami
agar lebih baik lagi.
DAFTAR
PUSTAKA
Amin Syukur, Tasawuf
dan Krisis, Pelajar Celeban Timur, Yogyakarta 55167
Amin Syukur, Menggugat Tsawuf, Pustaka Pelajar Glagah, Yogyakarta, Februari 1999.
Ali Maksum, Tasawuf Sebagai Pembebasan manusaia Modern, Pusat Studi Agama, Politik dan Masyarakat(PSPAM), Januari, 2003.hlm.122-126.
Http://Imam Sutrisno. Tasawuf Pada Masa Modern. Blogspot
Amin Syukur, Menggugat Tsawuf, Pustaka Pelajar Glagah, Yogyakarta, Februari 1999.
Ali Maksum, Tasawuf Sebagai Pembebasan manusaia Modern, Pusat Studi Agama, Politik dan Masyarakat(PSPAM), Januari, 2003.hlm.122-126.
Http://Imam Sutrisno. Tasawuf Pada Masa Modern. Blogspot
Tidak ada komentar:
Posting Komentar