ALI IBN ABI THALIB
(ZULHIJJAH 35 H – RAMADHAN 40 H)
Sosok Ali
Pembaiatan
Ali sebagai khalifah dilakukan setelah kematian Utsman. Ia dibaiat seluruh kaum
Muhajjirin, Anshar, dan semua yang hadir. Pembaiatannya ini diumumkan ke
seluruh penjuru negeri. Semuanya patuh dan menerima kecuali Mu’awiyah Ibn Abi
Sufyan, Gubernur Syam.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari
Salamah Ibn Al-Akwa’: “Pada Perang Khaybar, Ali tertinggal dari pasukan Nabi
karena terserang penyakit mata. Ali berkata, ‘Aku sudah tertinggal dari pasukan
Nabi,” lalu bergegas menyusul Nabi. Sore hari sebelum pagi saat Allah
memberikan kemenangan kepada pasukan muslim, Nabi bersabda, :Besok, aku akan
berikan bendera ini atau bendera ini akan dipegang oleh seorang lelaki yang
dicintai Allah dan Rasul-Nya atau yang mencintai Allah dan Rasul-Nya. Allah
akan memberikan kemenangan lewat tangannya.’Ali tiba-tiba muncul dan hilanglah
harapan kami (untuk memegang bendera perang). Orang-orang pun berkata, ‘inilah
Ali.’ Nabi kemudian memberikan bendera tersebut ke tangan Ali dan Allah
memberikan kemenangan kepadanya.”
Menurut Ibnu Hajar, redaksi hadits
“Ali mencintai Allah dan Rasul-Nya. Allah dan Rasul-Nya juga mencintainya” ini
menunjukkan adanya cinta sejati. Jika tidak demikian, tentu setiap muslim bisa
menyertakan Ali dalam penggambarannya tersebut. Hadits ini juga mengisyaratkan
firman Allah, Katakanlah (Muhammad),
“Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan
mengampuni dosa-dosamu” (Ali ‘Imran [3]: 31).
Nabi seolah ingin menunjukkan bahwa
Ali benar-benar mengikuti ajaran beliau secara sempurna hatta menyifatinya dengan kecintaan Allah terhadapnya. Atas dasar
ini, mencintai Ali adalah tanda keimanan dan membencinya adalah tanda
kemunafikan sebagaimana tercantum dalam hadits-hadits lain.
Diriwayatkan bahwa Imam Ahmad pernah
berkata, “Tidak ada riwayat shahih tentang keutamaan sahabat yang melebihi
riwayat tentang Ali ibn Abi Thalib.”
Fitnah Baru
Setelah
kematian Utsman, orang-orang yang sebelumnya memberontak kini menuntut khalifah
baru, Ali, untuk mengusut dan menghukum pembunuh Utsman. Tuntutan ini seketika
menjadi perbincangan hangat di kalangan penduduk Madinah. Mereka ingin kasus
tersebut diselesaikan secepat-cepatnya. Bahkan, Thalhah ibn Ubaydillah dan
Zubayr ibn ‘Awwam ikut menyuarakan tuntutan penduduk Madinah agar hukuman hadd segera dijatuhkan kepada kelompok
pembunuh Utsman. Perlu dicatat, aksi keduanya ini mrni didorong perasaan jujur
dan tulus, bukan konspirasi dan persengkokolan. Keduanya didukung ratusan
penduduk Makkah dan Madinah, termasuk A’isyah. Mereka semua bergerak menuju
Bashrah untuk mempersiapkan diri membalas dendam kematian Utsman.
Gubernur Bashrah, Utsman ibn Hunayf
, mencoba menghalangi niat mereka. Namun, Ibnu Hunayf justru dikepung dan
akhirnya dipenjara. Kini, kota Bashrah berada di bawah kekuasaan Thalhah,
Zubayr, dan A’isyah.
Khalifah Ali dan pasukannya bergerak
ke Bashrah untuk berdamai. Berita perdamaian dan kesepahaman pun merebak, Ali
mengingatkan Zubayr tentang sabda Nabi, “… Engkau akan memeranginya dalam
keadaan menzaliminya …” Zubayr lalu berkata, “Seandainya aku ingat, tentu aku
takkan keluar memerangimu.” Zubayr pun memisahkan diri dan hendak pergi, tetapi
terbunuh di tangan seseorang.
Orang-orang yang terlibat langsung
pembunugan Utsman mengetahui adanya benih-benih perdamaian tersebut.mereka
menyusup ke barisan dua pasukan, pasukan Thalhah dan pasukan Ali. Mereka
memprovokasi orang-orang agar berperang sebelum kita damai tercapai.
Perang Jamal
Pada
Jumadil Ula 36 H, kedua pasukan termakan provokasi orang-orang yang terlibat
dalam pembunuhan Utsman. Perang berkoar hebat. Di hadapan unta pembawa tandu
A’isyah, sebanyak 70 orang terbunuh.
Ali berpikir cepat. Ia memerintahkan
unta A’isyah dirobohkan. Unta roboh, tapi A’isyah selamat. Ali menyuruh
beberapa orang pasukannya mengantar A’isyah ke Madinah. 10 orang pasukan
Bashrah mati terbunuh, sementara pasukan Ali sebanyak 5.000 orang.
Fitnah berangsur-angsur mereda.
Daerah-daerah mulai tunduk di bawah kepemimpinan Amirul Mukimin Ali. Kini,
satu-satunya masalah yang belum terselesaikan hanyalah negeri Syam dan
menyempalnya Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Mu’awiyah menolak membaiat Ali sampai
Ali berhasil menuntaskan kasus pembunuhan Utsman dan meng-qidas semua orang yang terlibat langsung dalam pembunuhan tersebut.
Perang Shiffin
Pada
Muharram 37 H, Ali ingin mencopot Mu’awiyah dari jabatannya sebagai Gubernur
Syam. Namun, Mu’awiyah menolak kebijakan Ali. Ali bergerak bersama sejumlah
pasukan menuju Syam, begitu juga Mu’awiyah ini para penyulut fitnah yang
terlibat langsung dalam pembunuhan Utsman menyusup.
Ali mengutus beberapa orang menemui
Mu’awiyah untuk menjelaskan pendapat dan sikapnya. Tetapi, upaya Ali ini gagal.
Perang pun tak terelakkan di sahara Shiffin. ‘Ammar ibn Yasir mati terbunuh di
tangan pasukan Mu’awiyah, dan Nabi pernah pemberontak (baghiyah).” Mu’awiyah hamper kalah. ‘Amr ibn al-‘Ash, yang
tergabung dalam pasukan Mu’awiyah, menawarkan tahkim. Pasukan Mu’awiyah mengangkat mushaf Al-Qur’an dan menuntut tahkim.
Ali sebenarnya sudah merasa bahwa
itu hanya siasat. Tapi, mayoritas sabat dari pasukan Ali mendesak Ali agar
menerima tahkim. Ali pun terpaksa
menerima.
Tahkim
Ada
banyak riwayat seputar tahkim dan
hasilnya. Di antaranya, menyebutkan bahwa ‘Amr ibn al-‘Ash menipu Abu Musa
al-Asy’ari mustahil ‘Amr melakukan itu dalam proses tahkim. ‘Amr membuat Abu Musa mau mengumumkan terlebih dahulu
penurunan Ali dari jabatan khalifah. Setelah tiba gilirannya, ‘Amr mengumumkan
bahwa ia mendukung Abu Musa atau pencopotan Ali, kemudian menetapkan Mu’awiyah
sebagai khalifah baru.
Riwayat ini tak lebih dari sekadar
dusta. Sanad-sanadnya lemah dan tak bisa dipertanggungjawabkan. Begitu pula
riwayat-riwayat lain yang senada. Di samping itu, semua sejarawan baik klasik
maupun modern, mengeaskan bahwa Mu’awiyah melawan Ali bukan karena jabatan
khalifah atau karena ingin merebutnya, melainkan karena ingin menuntut
dijatuhkannya kisas bagi para pembunuh Utsman. Mu’awiyah menganggap dirinya
berada di pihak yang benar karena ia wali dan penuntut darah Utsman. Di sinilah
letak kekeliruan Mu’awiyah. Sebab, Ali sama sekali tidak bermaksud
mengulur-ulur waktu dalam mengusut dan menjatuhkan kisah kepada para pembunuh
Utsman. Ada masalah lain yang jauh lebih besar dan mesti segera dituntaskan:
kaum pemberontak yang masih menguasai kota Madinah. Atas dasar itulah Ali
berkata pada Thalhah dan Zubayr, “Bagaimana mungkin aku bisa menindak
orang-orang yang menguasai kita, sementara kita tidak kuasa atas mereka?” Ali
berkata, “Masalah ini (pemberontakan) sudah masuk perkara Jahiliah. Jadi,
tenanglah kalian hingga semua orang tenang, hati berada pada tempatnya, dan hak-hak
tertunaikan.”
Setelah Perang Shiffin, pertikaian
sedikit mereda. Lembar perundingan (tahkim)
ditulis disaksikan perwakilan kedua belah pihak. Pasukan Syam menerima dengan
antusias, sedangkan pasukan Irak ada yang menerima, menolak keras, dan tidak
suka.
Dua hari setelah proses tahkim, Ali diizinkan ke Kufah. Ali dan
pasukannya bergerak ke Kufah, sementara Mu’awiyah dan pasukannya bergerak
menuju Irak.
Kedua pemimpin bertemu di Dawwah
al-Jandal, tetapi keduannya tidak menemukan kata sepakat tentang suatu hal.
Akhirnya keduanya kembali berbeda pendapat.
Munculnya Kaum Khawaruj
Sebanyak
12 ribu orang pasukan menolak proses tahkim, meskipun pada awalnya mendesak Ali
menerimanya. Bahkan, mereka menganggap Ali kafir.
Dalam perjalanan ke Kufah, mereka
tiba di salah satu perkampungan Kufah bernama Harura’. Dari sinilah mereka
dikenal dengan kelompok Hururiyyah, yaitu kelompok Khawarij.
Ali dan sejumlah tokoh sahabat
mendebat dan mematahkan pendapat mereka. Namun, mereka sangat bersikeras dan
enggan mengalah. Mereka hanya menerima dan menyetujui pemikiran mereka sendiri.
Mereka menanyakan hukum tahkim pada
setiap orang yang ditemui. Mereka akan langsung membunuh seseorang yang
menerima tahkim karena menganggapnya
murtad dan kafir.
Pada 38 H, mereka diperangi Ali
setelah gagal berdialog. Banyak di antara mereka mati terbunuh, dan sisanya
melarikan diri. Setelah kejadian itu, mereka terpecah menjadi dua puluh
kelompok.
Pada 39 H, Ali dan Mu’awiyah
bersepakat menghentikan peperangan. Syaratnya, Mu’awiyah menguasai wilayah Syam
tanpa campur tangan Amirul Mukminin.
Pada 40 H, tiga orang Khawarij
dikirim untuk membunuh Mu’awiyah, Ali, dan ‘Amr ibn al-Ash’. Ketiganya gagal
dibunuh, kecuali Ali.
Pada 16 Ramadhan 40 H sebelum fajar,
dua orang khawarij membuntuti Ali yang keluar hendak membangunkan orang-orang
untuk shalat. Mereka membunuhnya di depan pintu masjid. Ali pun berteriak
keras, “Demi Tuhan Ka’bah, aku telah menang!”
Orang-orang langsung mengepung dan
menangkap kedua orang Khawarij itu. Mereka bertanya kepada Ali yang tengah
menghembuskan nafas-nafas terakhirnya, “Apa yang harus kami perbuat kepada
mereka berdua?” Ali menjawab, “Jika aku bertahan hidup, aku telah mempunyai
perhitungan sendiri. Namun, jika aku mati, aku serahkan perhitungannya ke
tangan kalian. Jika kalian memutuskan membalas dendam, balaslah satu pukulan
dengan satu pukulan serupa. Tapi, jika kalian memaafkan, itu lebih dekat kepada
ketakwaan.”
Pada Syawal 40 H, penduduk Madinah
membaiat Hasan putra Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah.
Pada 25 Rabiul Awal 41 H, Hasa
menyerahkan jabatan khalifah kepada Mu’awiyah demi persatuan umat. Tahun ini
kemudian dikenal sebagai “tahun persatuan” (‘am
al-jama’ah). Prediksi Nabi lagi-lagi terbukti. Beliau pernah bersabda
mengenai Hasan, “Sungguh, anakku ini adalah sayyid (penghulu). Mudah-mudahan
melalui dirinyalah Allah mendamaikan dua kelompok besar umat Islam yang
berselisih.”
Imam al-Qurthubi mengemukakan
pendapat apik mengenai perselisihan yang terjadi di kalangan sahabat. Dalam
menafsirkan firman Allah, Jika ada dua
golongan dari kaum beriman berperang maka damaikanlah antara keduanya (Al-Hujurat
[49]: 9), al-Qurthubi mengatakan:
Ayat
ini menjadi dasar untuk memerangi umat Islam (yang memberontak) sekaligus
pijakan untuk memerangi kaum penakwil (yang menyimpang dari akidah Islam).
Itulah penakwilan kalangan sahabat dan pemahaman orang-orang berilmu. Itu
pulalah yang dimaksudkan Nabi dalam sabda, “Ammar (ibn Yasir) akan dibunuh
kelompok pemberontak (bughah),” dan
juga sabda beliau perihal kaum Khawarij, “…mereka keluar dari kelompok terbaik
(dari dua kelompok yang ada [Ali dan Mu’awiyah]- atau mereka keluar saat
terjadi perselisihan di antara orang-orang.” Riwayat pertama (keluar dari
kelompok terbaik) lebih sahih, karena Nabi pernah bersabda, “… Mereka membunuh
kelompok terbaik dari dua kelompok,” sementara yang dibunuh adalah Ali dan para
pengikutnya. Atas dasar ini ulama menetapkan, juga telah ditegaskan oleh dalil
agama, bahwa Ali adalah imam (berhak atas kekhalifahan); bahwa setiap orang
yang memeranginya dianggap peberontak; bahwa pemberontak wajib diperangi sampai
mau kembali ke jalan kebenaran atau tunduk pada kesepakatan damai. Utsman telah
dibunuh, dan para sahabat terbebas dari darahnya; karena Utsman melarang mereka
memerangi kelompok yang memberontak terhadapnya. Utsman juga berkata, “Aku
tidak ingin menjadi orang pertama yang menyulut pertumpahan darah di antara
umat setelah kepergian Rasulullah.” Oleh sebab itu, Utsman memilih bersabar
menghadapi fitnah dan mengorbankan nyawanya demi umat. Kemudian, ia tak mungkin
meninggalkan umat tanpa pemimpin. Ia pun memasrahkan kepemimpinan kepada
beberapa sahabat yang pernah disebut namanya oleh Umar sebagai penggantinya
(Ali, Utsman, Zubayr, Thalhah, Sa’d, dan Abdurrahman ibn ‘Auf), tetapi mereka
saling menolak (menerima jabatan khalifah), dan sebenarnya Ali-lah yang paling
berhak dan paling kompoten. Ali menerima (jabatan khalifah) demi menjaga umat
agar darah mereka tidak tertumpah secara batil atau sia-sia, agar masalah
mereka tidak meruyak, atau bahkan agar agama tidak berubah dan tiang Islam
tidak roboh. Ketika Ali dibaiat, penduduk Syam menuntut Ali untuk terlebih
dahulu menyelesaikan kasus pembunuhan Utsman dan menghukum para pembunuhnya;
dan baru setelah itu mereka mau membaiatnya. Ali berkata pada mereka,
“Bergabunglah kalian dalam baiat dan carilah kebenaran, niscaya kalian akan
memperolehnya.” Tapi, mereka menjawab, “Engkau tidak berhak menerima baiat
karena kasus pembunuhan Utsman belum engkau tuntaskan dan itu terus membayangi kami
setiap harinya.” Perkataan Ali lebih bisa diterima dan lebih bisa dibenarkan.
Sebab, seandainya Ali melaksanakan tuntutan mereka (penduduk Syam), tentu akan
muncul fanatisme antar suku dari kelompok yang ditindak karena kasus pembunuhan
Utsman, dan akhirnya akan terjadi perang ketiga. Jadi, Ali menunggu terlebih
dahulu supaya kasus tersebut diteliti, baiat dilaksanakan, dan majelis hakim
difungsikan, sehingga putusan bisa diambil secara tepat dan teratur.
Tidak ada perbedaan pendapat di antara umat tentang
bolehnya seorang pemimpin menunda pelaksanaan kisas bila itu dapat
menghindarkan tersebarnya fitnah atau dapat menjaga keutuhan umat. Begitu pula
dalam kasus Thalhah dan Zubayr. Keduanya melengserkan Ali bukan karena ingin
merebut kekuasaan atau karena menantang Ali dalam hal keyakinan agama. Keduanya
berbuat demikian karena berpendapat bahwa mengisas para pembunuh Utsman adalah
perkara paling penting yang tidak boleh ditunda.
Demikianlah sebab terjadinya perang
di antara mereka. Menurut sebagian ulama, perang di Bashrah (antara Ali dan
Zubayr-Thalhah) tidaklah direncanakan, tetapi tiba-tiba saja. Sebab, kedua
belah pihak sudah saling sepaham, berdamai, dan berniat berpisah menuju tempat
masing-masing. Namun, perdamaian ini tidak disukai para pembunuh Utsman dan
orang-orang yang terlibat di dalamnya. Mereka terancam dan khawatir bila kedua
belah pihak memojokkannya. Untuk itu, mereka berkumpul, bermusyawarah, dan
bersepakat memecah belah kedua belah pihak lagi. Mereka membagi diri menjadi
dua kelompok, satu kelompok akan menyusup ke pasukan Ali dan satunya lagi ke
pasukan Thalhah dan Zubayr. Mereka mulai mengobarkan provokasi. Kelompok yang
menyusup ke pasukan Ali tiba-tiba berteriak, “Ali berkhianat!” pasukan
sama-sama ingin mempertahankan diri dan melindungi darah masing-masing.
Tindakan keduanya sama-sama benar dan dilandasi ketaatan kepada Allah.
Peperangan ini terjadi karena alasan di atas. Riwayat inilah yang sahih dan
disepakati banyak ulama (masyhur).
Al-Qurthubi mengatakan:
Tidak
pantas menisbahkan kesalahan kepada salah seorang sahabat secara pasti. Sebab,
mereka semua mengijtihadkan tindakan yang mereka lakukan dan sepenuhnya
mengharap ridha Allah. Bagi kita, semua sahabat adalah panutan. Kita hendaknya
tak mempersoalkan pereselisihan di antara mereka. Kalaupun menyebutnya, kita
hendaknya menyebutnya dengan cara sebaik-baiknya. Ini karena penghormatan kita
atas dudukan mulia mereka yang menemani Nabi, juga karena Nabi melarang kita
mencela mereka. Allah telah mengampuni mereka dan juga mengabarkan bahwa Dia
meridai mereka. Di samping itu, sudah banyak riwayat dari Nabi yang menyebutkan
bahwa Thalhah adalah seorang syahid yang berjalan di muka bumi. Jadi,
seandainya perangnya Thalhah itu di kategorikan sebagai kemaksiatan kepada
Allah, tentu kematiannya bukan syahid. Begitu pula jika seandainya
penakwilannya dan kewajibannya tidak terpenuhi. Padahal, Nabi sudah menegaskan
bahwa ia seorang syahid yang masih hidup.
Jika demikian, tidak pantas bagi
kita untuk melaknat dan menyebut mereka fasik, melepaskan diri dari mereka, dan
menghapuskan keutamaan atau jihad mereka.
Sebagian sahabat pernah dirinya
tentang pertumpahan darah yang terjadi di antara mereka. Mereka menjawab dengan
mengutip firman Allah, “Itulah umat yang
telah lalu. Baginya apa yang telah mereka usahakan dan bagimu apa yang telah
kamu usahakan. Dan kamu tidak akan diminta pertanggungjawaban tentang apa yang
dahulu mereka kerjakan (Al-Baqarah [2]: 141).”
Beberapa sahabat juga pernah ditanya
tentang persoalan serupa. Ada yang menjawab, “Allah telah menyucikan tanganku
dari darah-darah itu. Aku pun tidak ingin memolesi lisanku dengannya.” Artinya,
berhati-hati supaya tidak keliru menilai sahabat atau menghukumi mereka dengan
sesuatu yang keliru. Ketika ditanya tentang peperangan antarsahabat, Hasan
Bashri menjawab, “Perang yang diikuti sahabat Nabi dan kami tidak ikut, mereka
mengetahui dan kami tidak, mereka bersepakat dan kami mengikuti, mereka
berselisih dan kami tidak mau ikut-ikutan (mauquf).”
Al-Muhasibi berkata, “Kami
sependapat dengan Hasan Bashri, kami mengetahui bahwa mereka lebih memahami apa
yang mereka perselisihkan daripada kami. Kami mengikuti apa yang mereka
sepakati dan berhenti ketika mereka berselisih, dan kami tidak ingin membuat
pendapat sendiri. Kami tahu bahwa mereka telah berijtihad dan mengharap rida
Allah semata karena mereka semua bukanlah orang-orang yang diragukan agamanya.
Yang bisa kami lakukan adalah mengharap taufik dan hidayah Allah.”[]
DAFTAR PUSTAKA
Qasim
A Ibrahim, Muhammad A Shaleh, Sejarah
Islam, Jakarta, Zaman, 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar