Senin, 19 Desember 2016

ALI IBN ABI THALIB



ALI IBN ABI THALIB
(ZULHIJJAH 35 H – RAMADHAN 40 H)

Sosok Ali
Pembaiatan Ali sebagai khalifah dilakukan setelah kematian Utsman. Ia dibaiat seluruh kaum Muhajjirin, Anshar, dan semua yang hadir. Pembaiatannya ini diumumkan ke seluruh penjuru negeri. Semuanya patuh dan menerima kecuali Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan, Gubernur Syam.
            Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Salamah Ibn Al-Akwa’: “Pada Perang Khaybar, Ali tertinggal dari pasukan Nabi karena terserang penyakit mata. Ali berkata, ‘Aku sudah tertinggal dari pasukan Nabi,” lalu bergegas menyusul Nabi. Sore hari sebelum pagi saat Allah memberikan kemenangan kepada pasukan muslim, Nabi bersabda, :Besok, aku akan berikan bendera ini atau bendera ini akan dipegang oleh seorang lelaki yang dicintai Allah dan Rasul-Nya atau yang mencintai Allah dan Rasul-Nya. Allah akan memberikan kemenangan lewat tangannya.’Ali tiba-tiba muncul dan hilanglah harapan kami (untuk memegang bendera perang). Orang-orang pun berkata, ‘inilah Ali.’ Nabi kemudian memberikan bendera tersebut ke tangan Ali dan Allah memberikan kemenangan kepadanya.”
            Menurut Ibnu Hajar, redaksi hadits “Ali mencintai Allah dan Rasul-Nya. Allah dan Rasul-Nya juga mencintainya” ini menunjukkan adanya cinta sejati. Jika tidak demikian, tentu setiap muslim bisa menyertakan Ali dalam penggambarannya tersebut. Hadits ini juga mengisyaratkan firman Allah, Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu” (Ali ‘Imran [3]: 31).
            Nabi seolah ingin menunjukkan bahwa Ali benar-benar mengikuti ajaran beliau secara sempurna hatta menyifatinya dengan kecintaan Allah terhadapnya. Atas dasar ini, mencintai Ali adalah tanda keimanan dan membencinya adalah tanda kemunafikan sebagaimana tercantum dalam hadits-hadits lain.
            Diriwayatkan bahwa Imam Ahmad pernah berkata, “Tidak ada riwayat shahih tentang keutamaan sahabat yang melebihi riwayat tentang Ali ibn Abi Thalib.”
Fitnah Baru

Setelah kematian Utsman, orang-orang yang sebelumnya memberontak kini menuntut khalifah baru, Ali, untuk mengusut dan menghukum pembunuh Utsman. Tuntutan ini seketika menjadi perbincangan hangat di kalangan penduduk Madinah. Mereka ingin kasus tersebut diselesaikan secepat-cepatnya. Bahkan, Thalhah ibn Ubaydillah dan Zubayr ibn ‘Awwam ikut menyuarakan tuntutan penduduk Madinah agar hukuman hadd segera dijatuhkan kepada kelompok pembunuh Utsman. Perlu dicatat, aksi keduanya ini mrni didorong perasaan jujur dan tulus, bukan konspirasi dan persengkokolan. Keduanya didukung ratusan penduduk Makkah dan Madinah, termasuk A’isyah. Mereka semua bergerak menuju Bashrah untuk mempersiapkan diri membalas dendam kematian Utsman.
            Gubernur Bashrah, Utsman ibn Hunayf , mencoba menghalangi niat mereka. Namun, Ibnu Hunayf justru dikepung dan akhirnya dipenjara. Kini, kota Bashrah berada di bawah kekuasaan Thalhah, Zubayr, dan A’isyah.
            Khalifah Ali dan pasukannya bergerak ke Bashrah untuk berdamai. Berita perdamaian dan kesepahaman pun merebak, Ali mengingatkan Zubayr tentang sabda Nabi, “… Engkau akan memeranginya dalam keadaan menzaliminya …” Zubayr lalu berkata, “Seandainya aku ingat, tentu aku takkan keluar memerangimu.” Zubayr pun memisahkan diri dan hendak pergi, tetapi terbunuh di tangan seseorang.
            Orang-orang yang terlibat langsung pembunugan Utsman mengetahui adanya benih-benih perdamaian tersebut.mereka menyusup ke barisan dua pasukan, pasukan Thalhah dan pasukan Ali. Mereka memprovokasi orang-orang agar berperang sebelum kita damai tercapai.





Perang Jamal
Pada Jumadil Ula 36 H, kedua pasukan termakan provokasi orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan Utsman. Perang berkoar hebat. Di hadapan unta pembawa tandu A’isyah, sebanyak 70 orang terbunuh.
            Ali berpikir cepat. Ia memerintahkan unta A’isyah dirobohkan. Unta roboh, tapi A’isyah selamat. Ali menyuruh beberapa orang pasukannya mengantar A’isyah ke Madinah. 10 orang pasukan Bashrah mati terbunuh, sementara pasukan Ali sebanyak 5.000 orang.
            Fitnah berangsur-angsur mereda. Daerah-daerah mulai tunduk di bawah kepemimpinan Amirul Mukimin Ali. Kini, satu-satunya masalah yang belum terselesaikan hanyalah negeri Syam dan menyempalnya Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Mu’awiyah menolak membaiat Ali sampai Ali berhasil menuntaskan kasus pembunuhan Utsman dan meng-qidas semua orang yang terlibat langsung dalam pembunuhan tersebut.

Perang Shiffin
Pada Muharram 37 H, Ali ingin mencopot Mu’awiyah dari jabatannya sebagai Gubernur Syam. Namun, Mu’awiyah menolak kebijakan Ali. Ali bergerak bersama sejumlah pasukan menuju Syam, begitu juga Mu’awiyah ini para penyulut fitnah yang terlibat langsung dalam pembunuhan Utsman menyusup.
            Ali mengutus beberapa orang menemui Mu’awiyah untuk menjelaskan pendapat dan sikapnya. Tetapi, upaya Ali ini gagal. Perang pun tak terelakkan di sahara Shiffin. ‘Ammar ibn Yasir mati terbunuh di tangan pasukan Mu’awiyah, dan Nabi pernah pemberontak (baghiyah).” Mu’awiyah hamper kalah. ‘Amr ibn al-‘Ash, yang tergabung dalam pasukan Mu’awiyah, menawarkan tahkim. Pasukan Mu’awiyah mengangkat mushaf Al-Qur’an dan menuntut tahkim.
            Ali sebenarnya sudah merasa bahwa itu hanya siasat. Tapi, mayoritas sabat dari pasukan Ali mendesak Ali agar menerima tahkim. Ali pun terpaksa menerima.
Tahkim
Ada banyak riwayat seputar tahkim dan hasilnya. Di antaranya, menyebutkan bahwa ‘Amr ibn al-‘Ash menipu Abu Musa al-Asy’ari mustahil ‘Amr melakukan itu dalam proses tahkim. ‘Amr membuat Abu Musa mau mengumumkan terlebih dahulu penurunan Ali dari jabatan khalifah. Setelah tiba gilirannya, ‘Amr mengumumkan bahwa ia mendukung Abu Musa atau pencopotan Ali, kemudian menetapkan Mu’awiyah sebagai khalifah baru.
            Riwayat ini tak lebih dari sekadar dusta. Sanad-sanadnya lemah dan tak bisa dipertanggungjawabkan. Begitu pula riwayat-riwayat lain yang senada. Di samping itu, semua sejarawan baik klasik maupun modern, mengeaskan bahwa Mu’awiyah melawan Ali bukan karena jabatan khalifah atau karena ingin merebutnya, melainkan karena ingin menuntut dijatuhkannya kisas bagi para pembunuh Utsman. Mu’awiyah menganggap dirinya berada di pihak yang benar karena ia wali dan penuntut darah Utsman. Di sinilah letak kekeliruan Mu’awiyah. Sebab, Ali sama sekali tidak bermaksud mengulur-ulur waktu dalam mengusut dan menjatuhkan kisah kepada para pembunuh Utsman. Ada masalah lain yang jauh lebih besar dan mesti segera dituntaskan: kaum pemberontak yang masih menguasai kota Madinah. Atas dasar itulah Ali berkata pada Thalhah dan Zubayr, “Bagaimana mungkin aku bisa menindak orang-orang yang menguasai kita, sementara kita tidak kuasa atas mereka?” Ali berkata, “Masalah ini (pemberontakan) sudah masuk perkara Jahiliah. Jadi, tenanglah kalian hingga semua orang tenang, hati berada pada tempatnya, dan hak-hak tertunaikan.”
            Setelah Perang Shiffin, pertikaian sedikit mereda. Lembar perundingan (tahkim) ditulis disaksikan perwakilan kedua belah pihak. Pasukan Syam menerima dengan antusias, sedangkan pasukan Irak ada yang menerima, menolak keras, dan tidak suka.
            Dua hari setelah proses tahkim, Ali diizinkan ke Kufah. Ali dan pasukannya bergerak ke Kufah, sementara Mu’awiyah dan pasukannya bergerak menuju Irak.
            Kedua pemimpin bertemu di Dawwah al-Jandal, tetapi keduannya tidak menemukan kata sepakat tentang suatu hal. Akhirnya keduanya kembali berbeda pendapat.


Munculnya Kaum Khawaruj
Sebanyak 12 ribu orang pasukan menolak proses  tahkim, meskipun pada awalnya mendesak Ali menerimanya. Bahkan, mereka menganggap Ali kafir.
            Dalam perjalanan ke Kufah, mereka tiba di salah satu perkampungan Kufah bernama Harura’. Dari sinilah mereka dikenal dengan kelompok Hururiyyah, yaitu kelompok Khawarij.
            Ali dan sejumlah tokoh sahabat mendebat dan mematahkan pendapat mereka. Namun, mereka sangat bersikeras dan enggan mengalah. Mereka hanya menerima dan menyetujui pemikiran mereka sendiri. Mereka menanyakan hukum tahkim pada setiap orang yang ditemui. Mereka akan langsung membunuh seseorang yang menerima tahkim karena menganggapnya murtad dan kafir.
            Pada 38 H, mereka diperangi Ali setelah gagal berdialog. Banyak di antara mereka mati terbunuh, dan sisanya melarikan diri. Setelah kejadian itu, mereka terpecah menjadi dua puluh kelompok.
            Pada 39 H, Ali dan Mu’awiyah bersepakat menghentikan peperangan. Syaratnya, Mu’awiyah menguasai wilayah Syam tanpa campur tangan Amirul Mukminin.
            Pada 40 H, tiga orang Khawarij dikirim untuk membunuh Mu’awiyah, Ali, dan ‘Amr ibn al-Ash’. Ketiganya gagal dibunuh, kecuali Ali.
            Pada 16 Ramadhan 40 H sebelum fajar, dua orang khawarij membuntuti Ali yang keluar hendak membangunkan orang-orang untuk shalat. Mereka membunuhnya di depan pintu masjid. Ali pun berteriak keras, “Demi Tuhan Ka’bah, aku telah menang!”
            Orang-orang langsung mengepung dan menangkap kedua orang Khawarij itu. Mereka bertanya kepada Ali yang tengah menghembuskan nafas-nafas terakhirnya, “Apa yang harus kami perbuat kepada mereka berdua?” Ali menjawab, “Jika aku bertahan hidup, aku telah mempunyai perhitungan sendiri. Namun, jika aku mati, aku serahkan perhitungannya ke tangan kalian. Jika kalian memutuskan membalas dendam, balaslah satu pukulan dengan satu pukulan serupa. Tapi, jika kalian memaafkan, itu lebih dekat kepada ketakwaan.”
            Pada Syawal 40 H, penduduk Madinah membaiat Hasan putra Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah.
            Pada 25 Rabiul Awal 41 H, Hasa menyerahkan jabatan khalifah kepada Mu’awiyah demi persatuan umat. Tahun ini kemudian dikenal sebagai “tahun persatuan” (‘am al-jama’ah). Prediksi Nabi lagi-lagi terbukti. Beliau pernah bersabda mengenai Hasan, “Sungguh, anakku ini adalah sayyid (penghulu). Mudah-mudahan melalui dirinyalah Allah mendamaikan dua kelompok besar umat Islam yang berselisih.”
            Imam al-Qurthubi mengemukakan pendapat apik mengenai perselisihan yang terjadi di kalangan sahabat. Dalam menafsirkan firman Allah, Jika ada dua golongan dari kaum beriman berperang maka damaikanlah antara keduanya (Al-Hujurat [49]: 9), al-Qurthubi mengatakan:
Ayat ini menjadi dasar untuk memerangi umat Islam (yang memberontak) sekaligus pijakan untuk memerangi kaum penakwil (yang menyimpang dari akidah Islam). Itulah penakwilan kalangan sahabat dan pemahaman orang-orang berilmu. Itu pulalah yang dimaksudkan Nabi dalam sabda, “Ammar (ibn Yasir) akan dibunuh kelompok pemberontak (bughah),” dan juga sabda beliau perihal kaum Khawarij, “…mereka keluar dari kelompok terbaik (dari dua kelompok yang ada [Ali dan Mu’awiyah]- atau mereka keluar saat terjadi perselisihan di antara orang-orang.” Riwayat pertama (keluar dari kelompok terbaik) lebih sahih, karena Nabi pernah bersabda, “… Mereka membunuh kelompok terbaik dari dua kelompok,” sementara yang dibunuh adalah Ali dan para pengikutnya. Atas dasar ini ulama menetapkan, juga telah ditegaskan oleh dalil agama, bahwa Ali adalah imam (berhak atas kekhalifahan); bahwa setiap orang yang memeranginya dianggap peberontak; bahwa pemberontak wajib diperangi sampai mau kembali ke jalan kebenaran atau tunduk pada kesepakatan damai. Utsman telah dibunuh, dan para sahabat terbebas dari darahnya; karena Utsman melarang mereka memerangi kelompok yang memberontak terhadapnya. Utsman juga berkata, “Aku tidak ingin menjadi orang pertama yang menyulut pertumpahan darah di antara umat setelah kepergian Rasulullah.” Oleh sebab itu, Utsman memilih bersabar menghadapi fitnah dan mengorbankan nyawanya demi umat. Kemudian, ia tak mungkin meninggalkan umat tanpa pemimpin. Ia pun memasrahkan kepemimpinan kepada beberapa sahabat yang pernah disebut namanya oleh Umar sebagai penggantinya (Ali, Utsman, Zubayr, Thalhah, Sa’d, dan Abdurrahman ibn ‘Auf), tetapi mereka saling menolak (menerima jabatan khalifah), dan sebenarnya Ali-lah yang paling berhak dan paling kompoten. Ali menerima (jabatan khalifah) demi menjaga umat agar darah mereka tidak tertumpah secara batil atau sia-sia, agar masalah mereka tidak meruyak, atau bahkan agar agama tidak berubah dan tiang Islam tidak roboh. Ketika Ali dibaiat, penduduk Syam menuntut Ali untuk terlebih dahulu menyelesaikan kasus pembunuhan Utsman dan menghukum para pembunuhnya; dan baru setelah itu mereka mau membaiatnya. Ali berkata pada mereka, “Bergabunglah kalian dalam baiat dan carilah kebenaran, niscaya kalian akan memperolehnya.” Tapi, mereka menjawab, “Engkau tidak berhak menerima baiat karena kasus pembunuhan Utsman belum engkau tuntaskan dan itu terus membayangi kami setiap harinya.” Perkataan Ali lebih bisa diterima dan lebih bisa dibenarkan. Sebab, seandainya Ali melaksanakan tuntutan mereka (penduduk Syam), tentu akan muncul fanatisme antar suku dari kelompok yang ditindak karena kasus pembunuhan Utsman, dan akhirnya akan terjadi perang ketiga. Jadi, Ali menunggu terlebih dahulu supaya kasus tersebut diteliti, baiat dilaksanakan, dan majelis hakim difungsikan, sehingga putusan bisa diambil secara tepat dan teratur.
Tidak ada perbedaan pendapat di antara umat tentang bolehnya seorang pemimpin menunda pelaksanaan kisas bila itu dapat menghindarkan tersebarnya fitnah atau dapat menjaga keutuhan umat. Begitu pula dalam kasus Thalhah dan Zubayr. Keduanya melengserkan Ali bukan karena ingin merebut kekuasaan atau karena menantang Ali dalam hal keyakinan agama. Keduanya berbuat demikian karena berpendapat bahwa mengisas para pembunuh Utsman adalah perkara paling penting yang tidak boleh ditunda.
            Demikianlah sebab terjadinya perang di antara mereka. Menurut sebagian ulama, perang di Bashrah (antara Ali dan Zubayr-Thalhah) tidaklah direncanakan, tetapi tiba-tiba saja. Sebab, kedua belah pihak sudah saling sepaham, berdamai, dan berniat berpisah menuju tempat masing-masing. Namun, perdamaian ini tidak disukai para pembunuh Utsman dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Mereka terancam dan khawatir bila kedua belah pihak memojokkannya. Untuk itu, mereka berkumpul, bermusyawarah, dan bersepakat memecah belah kedua belah pihak lagi. Mereka membagi diri menjadi dua kelompok, satu kelompok akan menyusup ke pasukan Ali dan satunya lagi ke pasukan Thalhah dan Zubayr. Mereka mulai mengobarkan provokasi. Kelompok yang menyusup ke pasukan Ali tiba-tiba berteriak, “Ali berkhianat!” pasukan sama-sama ingin mempertahankan diri dan melindungi darah masing-masing. Tindakan keduanya sama-sama benar dan dilandasi ketaatan kepada Allah. Peperangan ini terjadi karena alasan di atas. Riwayat inilah yang sahih dan disepakati banyak ulama (masyhur).
            Al-Qurthubi mengatakan:
Tidak pantas menisbahkan kesalahan kepada salah seorang sahabat secara pasti. Sebab, mereka semua mengijtihadkan tindakan yang mereka lakukan dan sepenuhnya mengharap ridha Allah. Bagi kita, semua sahabat adalah panutan. Kita hendaknya tak mempersoalkan pereselisihan di antara mereka. Kalaupun menyebutnya, kita hendaknya menyebutnya dengan cara sebaik-baiknya. Ini karena penghormatan kita atas dudukan mulia mereka yang menemani Nabi, juga karena Nabi melarang kita mencela mereka. Allah telah mengampuni mereka dan juga mengabarkan bahwa Dia meridai mereka. Di samping itu, sudah banyak riwayat dari Nabi yang menyebutkan bahwa Thalhah adalah seorang syahid yang berjalan di muka bumi. Jadi, seandainya perangnya Thalhah itu di kategorikan sebagai kemaksiatan kepada Allah, tentu kematiannya bukan syahid. Begitu pula jika seandainya penakwilannya dan kewajibannya tidak terpenuhi. Padahal, Nabi sudah menegaskan bahwa ia seorang syahid yang masih hidup.
            Jika demikian, tidak pantas bagi kita untuk melaknat dan menyebut mereka fasik, melepaskan diri dari mereka, dan menghapuskan keutamaan atau jihad mereka.
            Sebagian sahabat pernah dirinya tentang pertumpahan darah yang terjadi di antara mereka. Mereka menjawab dengan mengutip firman Allah, “Itulah umat yang telah lalu. Baginya apa yang telah mereka usahakan dan bagimu apa yang telah kamu usahakan. Dan kamu tidak akan diminta pertanggungjawaban tentang apa yang dahulu mereka kerjakan (Al-Baqarah [2]: 141).”
            Beberapa sahabat juga pernah ditanya tentang persoalan serupa. Ada yang menjawab, “Allah telah menyucikan tanganku dari darah-darah itu. Aku pun tidak ingin memolesi lisanku dengannya.” Artinya, berhati-hati supaya tidak keliru menilai sahabat atau menghukumi mereka dengan sesuatu yang keliru. Ketika ditanya tentang peperangan antarsahabat, Hasan Bashri menjawab, “Perang yang diikuti sahabat Nabi dan kami tidak ikut, mereka mengetahui dan kami tidak, mereka bersepakat dan kami mengikuti, mereka berselisih dan kami tidak mau ikut-ikutan (mauquf).”
            Al-Muhasibi berkata, “Kami sependapat dengan Hasan Bashri, kami mengetahui bahwa mereka lebih memahami apa yang mereka perselisihkan daripada kami. Kami mengikuti apa yang mereka sepakati dan berhenti ketika mereka berselisih, dan kami tidak ingin membuat pendapat sendiri. Kami tahu bahwa mereka telah berijtihad dan mengharap rida Allah semata karena mereka semua bukanlah orang-orang yang diragukan agamanya. Yang bisa kami lakukan adalah mengharap taufik dan hidayah Allah.”[]












DAFTAR PUSTAKA

Qasim A Ibrahim, Muhammad A Shaleh, Sejarah Islam, Jakarta, Zaman, 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar